Jumat, 08 Januari 2016

Filosofi Ikan


Nama : R.Nurina.Ramadhani
Kelas : 5ka51
NPM : 1B114198


ikan betok-jenis ikan sungai
Sebuah kalimat pepatah atau sebuah kalimat filosofi ya? Yang jelas menurut saya sangat berharga bagi saya khususnya dan kita semua tentunnya. Ikan, hewan ciptaan Alloh SWT  yang memang banyak manfaatnya (tentunya yang di maksud disini jenis ikan yang biasa di konsumsi, dimakan lah sama kita-kita orang ). Saya dengar kata-kata ini dari ayah dan ibu, juga dari guru ngaji dan guru madrasaha saya. Mereka mengartikan nya, jadilah pribadi baik yang kokoh dan yang tidak gampang terpengaruh lingkungan yang buruk.
 Coba kita perhatikan. Ikan. Entah dia hidup di laut, di danau, di air payau, di air bersih bahkan di air kotor sekalipun, tidak akan merubah rasa daging ikan itu sendiri. Tetap rasanya rasa ikan, Tawar. Belum pernah dengar ( kalau saya sich belum pernah denger, kalau anda? ) ada cerita ikan laut rasanya asin (tentunya ikan laut yang belum di masak. Maksudnya, ngambil atau beli dari laut…bukan bukan, bukan  beli dari laut, beli di tukang ikan hasil tangkapan nelayan di laut naaah ), ikan danau rasanya tawar, ikan empang rasanya sepet, ikan sungai rasanya agak manis, ikan aquarium rasanya sayang kalo kita goreng terus dimakan, ikan ini rasanya ini, ikan itu rasanya itu, dsb dan lain-lain.

jenis ikan laut-kuwea
            Ikan tetap rasanya tawar meskipun lingkungan hidup mereka ada yang di air asin, air tawar maupun air payau. Filosofi ini bisa kita pegang sebagai pegangan hidup ( kalo saya pakai ? sebagai pakaiankan? ). Lebih jelasnya kita gunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan kita sebagai makhluk sosial yang pastinya akan menghadapi dan hidup di lingkungan sekitar yang pasti berbeda dengan lingkungan kita di lahirkan.
Lake Trout fish-Salvelinus namaycush.
            Mungkin selama ini lingkungan hidup dimana kita di lahirkan, ( di bale bambu buah tangan bapakku. Cipt. Iwan Fals) dan di besarkan adalah lingkungan yang bermoral ( Pancasilakanterusannya? ) dan agamis. Dan karena keadaan yang tidak bisa kita dapatkan di lingkungan kita, kita harus hijrah ke lingkungan lain yang sedikit agak berbeda dengan lingkungan kita. Di sinilah filosofi ikan ini harus di peragakan.
            Kasarnya, jika memang kita seorang baik-baik di tempat asal kita, tentunya kita juga harus jadi seorang yang baik pula di tempat lain di tempat kita berpijak. Jangan sampai kita orang yang taat beribadah di kampung kita, kemudian kita hijrah ketempat lain karena sesuatu misal kuliah, atau kerja, terus kita jadi orang yang lalai dan cenderung menjauh dari ibadah yang agama kita ajarkan, akibat hasil dari kita mengikuti dan menerima begitu saja hal-hal yang sebenarnya kita tahu itu tidak benar dan efeknya negatif buat kita.  
            Tentunya banyak perbedaan yang baik dan yang buruk di lingkungan baru kita. Dan jangan asal telan apa yang kita dapat di tempat baru itu. Harus di pertimbangkan baik buruknya. Jika memang itu baik sesuai dengan ajaran agama dan tidak melanggar norma-norma masyarakat tentunya itu hal yang harus kita terima dengan baik. Jika memang itu tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma masyarakat, atupun itu samar-samar harus kita tolak tentunya. Biasanya, karena kita berada jauh dari peradaban lingkungan tempat asal kita, jauh dari keluarga kita, jauh dari orang tua kita, maka kita merasa bebas menentukan tindakan apa saja yang kita mau dan apa yang kita temui di lingkungan baru kita. Disinilah pentingnya kontrol dan komunikasi dengan orang tua. Dan orang tua harus tidak percaya begitu saja, meskipun anak memang kadang sudah merasa dewasa dan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Ingat!!! Ting…..orang tua lah ( maksudnya ibu dan ayah yaa..) yang menyebabkan kita ada di dunia ini.
            Memang, lingkungan sekitar sangat besar sekali dalam mempengaruhi pribadi seseorang. Tapi saya berpendapat (namanya juga pendapat, siapa tahu ini kuat dan kebeneran memang bener, bolehkan? Makasih… ), lingkungan yang buruk katakan begitu, bisa di minimalisir bahkan bisa di hindari jika pribadi dan hati kita sudah tertanam dengan kokoh dan berakar hal-hal kebaikan dan bisa memilah mana hal baik dan buruk, bisa menilai efek positif dan negatif. Di sini juga hal yang harus di perhatikan orang tua ( ibu dan ayah yach..ingat…), orang tua lah yang berpotensi besar membentuk karakteristik seorang anak. Dengan memperhatikan pendidikan formal apalagi agama.
            Walaupun ada saja yang pondasi agamanya kokoh terpengaruh juga. Mungkin ada hal di sisi lain yang lemah, yaitu di pribadinya sendiri yang memang susah menerima kebaikan, ataukah peran orang tua yang minim. Pendidikan Agama  di sekolah atu di luar sekolah (yang udah kuliah berarti di kampus atau di luar kampus ya…)juga tak lepas dari faktor keluarga dan orang tua. Jika memang pribadinya di didik secara agamis yang benar-benar utuh pendidikan agamanya, tidak setengah-setengah, kokoh dan di bimbing orang tua yang benar-benar peduli aka-anak mereka, saya yakin ikan ( orang maksudnya) ini tidak akan terkontaminasi.
 Dan jika pribadi orang sudah tertanam rasa keimanan dan rasa takut terhadap sang khaliq Alloh SWT, saya yakin seburuk apapun lingkungan tempat ia berada ia akan bisa menghindarinya. Dan hal yang fatal adalah, seringnya beranggapan hidup hanya sekali dan kita akan tobat nanti jika sudah tua, masa muda masa jaya dan hura-hura, karena tobat bisa menghapus segala kesalahan dan dosa. Iya kalo kita masih sempat tobat di waktu tua nanti, kalo tidak sempat? Juga kalo kita ngalamin tua? Kalo kita mati muda, trus belom tobat? Berarti kita gak ada kesempatan tobat di masa tua kan? ( ya iyalah udah mati waktu umur masih muda ya gak bakalan ngalamin tua terus tobat trus mati kale? Tapi awet muda tuh iya kan?)
jenis ikan kolam atau empang-ikan gurami
 Kembali ke filosofi ikan. Di manapun kita berpijak seharusnya kita memegang teguh ( bukan bang teguh ya…) ajaran-ajaran agama, nasihat orang tua dan saya yakin kita bisa terproteksi dari hal-hal yang tidak baik. Filosofi ini hanya berlaku untuk orang yang memang punya pondasi yang baik tentunya. Maksudnya, (maaf sebelumnya agak kasar neh…) kalo emang di kampungnya dia udah rusak, dia gak kemana-mana atau dia hijrah ketempat lain dan menemukan hal yang baik tentunya dia harus menerima hal baik itu dan memperbaiki dirinya yang rusak biar bener gitu. Kalo filosofi ini dipake orang rusak tadi, cilaka 12+1 bahaya brew…
 “Ah…kata emak gue hidup kudu kayak ikan…mau gimana baiknya lingkungan baru gue, gue mesti jadi gue sendiri. Be your self lah…berarti yang jelek mesti gue jalanin terus…”
Bukan..bukan……Bukan ini yang di maksud dari filosofi ini. Justru yang begini harus berubah..lingkungan baru tempat kita berpijak labih baik kita harus lebih baik. Tapi kalau pribadi kita baik, lingkungan kita jelek, kita pake filosofi si ikan ini untuk terus jadi orang baik dilingkungan yang kurang baik. Dan di wajibkan, di haruskan ( kudu ) hijrah ke tempat lain yang lebih baik lagi. Semua hal jelek bisa kita hindari juga pengaruh lingkungan buruk bisa kita hindari tentunya oleh diri kita sendiri.
 Intinya adalah pengendalian diri kalo kata Alm. KH. Zainuddin MZ. Dan mulailah dari diri sendiri begitu kata Aa Gym (tentunya hal yang baik-baik dong ). Bagi muslim sejati, berislam dan beriman secara benar, utuh dan menyeluruh akan memproteksi kita dari hal-hal yang buruk yang mungkin bisa menjerumuskan kehidupan kita di dunia (kalo di dunia saja sudah terjerumus.. apalagi di akhirat ?).
Filosofi ikan menurut versi saya ini di maksudkan hanya sebagai acuan dan pedoman untuk kita bisa memproteksi diri dari hal-hal yang tidak baik. Semuanya kembali kepada ketentuan dan kehendak hidayah Alloh SWT kepada kita yang berdoa agar kita tidak terbawa arus buruk lingkungan tempat kita tinggal. Dan sebagai langkah akhir kita dalam menghindari pengaruh buruk lingkungan adalah, berdoa untuk di jauhkan dari pengaruh buruk lingkungan itu sendiri.
Semoga kita termasuk ikan yang bisa mempertahankan keaslian rasa kita tanpa terkontaminasi dan merubah rasa daging kita hingga kita mati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar